BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam melaksanakan
pendidikan Islam, peran pendidik sangat penting, karena ia yang bertanggung
jawab dan menentukan arah pendidikan tersebut. Itulah sebabnya Islam sangat
menghargai dan menghormati orang-orang yang berilmu pengetahuan yang bertugas
sebagai pendidik. Pendidik mempunyai tugas yang mulia, sehingga Islam memandang
pendidik mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang tidak
mempunyai ilmu dan orang-orang yang bukan sebagai pendidik. Penghormatan dan
penghargaan Islam terhadap orang-orang yang berilmu itu terbukti di dalam
al-Quran dalam surat al-Mujaadilah ayat 11:
Artinya:
“Allah akan mengangkat derajat
orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan bebrapa derajat. Dan Allah swt. Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. (Depag RI, 1978 : 911).
Di dalam hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh al-Turmudzi dari Abu Umamah bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“sesungguhnya Allah
Yang Maha Suci, malaikat-Nya, penghuni-penghuni langit-Nya dan bumi-Nya termasuk
semut dalam lubangnya dan termasuk ikan dalam laut akan mendoakan keselamatan
bagi orang-orang yang mengajar manusia kepada kebaikan.”
Demikian
halnya di dalam al-Quran surat Ali Imran ayat 187 disebutkan tentang keutamaan
tugas mengajar itu sebagai berikut:
Artinya:
“Dan ingatlah
ketika Allah mengambil janji dari orang-orang ahli kitab, hendaklah kamu
menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan janganlah kamu menyembunyikan
.....” ( (Depag RI, 1978 : 59).
Tetapi
orang-orang yang berilmu kemudian tidak mengajarkan atau menyampaikan ilmunya
kepada orang lain, maka akan mendapat ancaman berat sebagaimana dalam hadits
Nabi Muhammad saw. yang berbunyi:
Artinya:
“Barang siapa yang diajari sesuatu
ilmu lalu dia menyembunyikannya, maka Allah mengekangnya pada hari kiamat
dengan kekangan api neraka.”
Berdasarkan
firman Allah swt. dan hadits nabi diatas, para ulama dan ahli pendidikan Islam
sejak dahulu sampai sekarang secara serius melaksanakan proses pendidikan dalam
upaya mengembangkan ilmu pengetahuan. Kesungguhan mereka itu terbukti dengan
banyak lahirnya kalangan intelektual yang menguasai berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Teori dan pemikiran mereka tidak hanya diakui oleh kalangan muslim
saja, tetapi diakui dan dijadikan landasan oleh kalangan non muslim serta
masyarakat luas. Disamping itu dalam upaya menegembangkan ilmu pengetahuan di
tengah-tengah masyarakat telah banyak berdiri lembaga-lembaga Islam yang
bergerak dalam dunia pendidikan. Hal ini terlihat dengan banyak berdirinya
sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Islam
menginginkan manusia individu (guru dan siswa) dan masyarakat untuk menjadi
orang-orang yang berpendidikan. Individu yang berpendidikan merupakan individu
yang berilmu, berketerampilan, berakhlak mulia, berkepribadian luhur,
berinteraksi dan bekerjasama untuk memanfaatkan alam semesta dan isinya untuk
kesejahterann umat manusia di bumi.
Syekh
Naquib al-Attas, sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata (2003 : 11) menyatakan
bahwa pendidikan berasal dari kata ta’dib.
Memang terdapat kata lain yang berkaitan dengan pendidikan selain ta’dib, yakni tarbiyah, akan tetapi tarbiyah lebih menekankan pada mengasuh,
menanggung, memberi makan, memelihara, dan menjadikan bertambah dalam
pertumbuhan. Selanjutnya Naquib menyatakan bahwa penekanan pada ‘adab’ yang
mencakup dalam amal pendidikan dan proses pendidikan adalah untuk menjamin
bahwa ilmu dipergunakan secara baik dalam masyarakat.
Pendidikan adalah suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Dengan kata lain pendidikan tidak hanya berlangsung didalam kelas, tetapi berlangsung pula diluar kelas. Pendidikan bukan bersifat formal saja, tetapi mencakup pula yang non formal (Zuhairini, 2008: 149).
Abdurrahman
al-Bani, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman al-Nahlawi (1989: 32) bahwa pendidikan (tarbiyah) adalah menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang
baligh, mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam-macam,
mengarahkan seluruh fitrah dan potensi ini menuju kepada kebaikan dan
kesempurnaan yang layak baginya.
Menurut
Ngalim Purwanto (2007: 11) pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam
pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani.
Melihat
pengertian pendidikan tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwa pendidikan
adalah proses yang mempunyai tujuan, sasaran, dan obyek. Pendidikan juga
menuntut adanya langkah-langkah yang secara bertahap harus dilalui oleh
berbagai kegiatan pendidikan, dan kerja pendidik harus mengikuti aturan
penciptaan dan pengadaan yang dilakukan Allah swt., sebagaimana harus mengikuti
Syara’ dan Din Allah swt. dengan tujuan pembentukan keperibadian yang utama.
Setiap
kegiatan yang dilakukan tentu ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan ialah suatu
yang dihaarapkan tercapai atau kegiatan selesai (Derajat Z, 1996 : 29).
Sedangkan menurut Abdurrahman an-Nahlawi (1989 : 160) tujuan yaitu apa yang
dicanagkan oleh manusia, diletakannya sebagai pusat perhatian, dan demi
merealisasikannya dia menata tingkah lakunya.
Menurut
hemat penulis dapat dismpulkan bahwa tujuan pendidikan adalah sasaran yang akan
dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakan pendidikan.
Fungsi
dan Tujuan pendidikan sebagaimana yang di tegaskan dalam UUSPN No. 20 tahun
2003 bahwa:
“Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.
Melihat
fungsi dan tujuan pendidikan nasional diatas, maka tenaga pendidik (guru)
mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membina manusia-manusia yang
berkualitas, cerdas dan bertanggung jawab atas bangsa dan agama, terutama
tanggung jawab terhadap moral dan tingkah laku anak didik. Dalam pendidikan
Islam guru merupakan komponen yang sangat penting karena guru merupakan subjek
dalam proses pendidikan. Tanpa adanya guru berarti tidak akan ada proses
pendidikan.
Imam
al-Ghazali, yang dikutip oleh Abidin Ibnu Rusdn (1998 : 63) mengatakan bahwa:
Makhluk yang paling mulia dimuka bumi ialah manusia. Sedangkan yang
paling mulia penampilannya ialah kalbunya. Guru atau pengajar selalu
menyempurnakan, mengangungkan dan mensucikan kalbu itu serta menuntunya unuk
dekat kepada Allah swt.
Dari
pernyataan al-Ghazali diatas, dapat dipahami bahwa guru merupakan profesi yang
paling mulia dan paling agung dibanding dengan propesi yang lain. Dengan
propesi itu guru menjadi jembatan yang menghubungkan antara manusia — dalam hal
ini murid —dengan penciptanya, Allah swt. Maka kalau kita renungkan tugas guru
adalah seperti tugas para utusan Allah swt., tidak terikat dengan ilmu atau bidang studi yang diajarkannya, yaitu
mengantarkan murid dan menjadikannya manusia terdidik yang mampu menjalankan tugas-tugas
kemanusiaan dan tugas-tugas ketuhanan. Ia tidak sekedar menyampaikan materi
pelajaran, tetapi bertanggung jawab pula memberikan wawasan kepada murid agar
menjadi manusia yang mengkaji keterbelakangan, menggali ilmu pengetahuan, dan
menciptakan lingkungan yang menarik dan menyenangkan. Pendidikan kesusilaan,
budi pekerti, etika, moral maupun akhlak bagi murid bukan hanya menjadi
tanggung jawab guru bidang studi agama atau yang ada kaitannya dengan budi.
Dengan demikian, pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia menuntut adanya
kesamaan arah dari seluruh unsur yang ada, termasuk unsur pendidikannya.
Selanjutnya
siswa adalah kata lain dari peserta didik atau murid. Dalam pendidikan Islam
siswa merupakan komponen yang tidak bisa dipisahkan dari tenaga pendidik,
karena siswa merupakan objek sekaligus subjek dalam proses pembelajaran.
Menurut Mahmud dan Tedi Priatna (2005 : 120) peserta didik atau siswa adalah
tiap orang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Dalam
arti sempit dan khusus pesertya didik dapat diartikan sebagai anak yang belum
dewasa yang tanggung jawabnya diserahkan kepada pendidik.
Dalam
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Bab V pasal 12
ditegaskan:
Peserta
didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya
dan diajarkan oleh pendidik yang sama. Dan Mendapatkan pelayanan pendidikan
sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya, menjaga norma-norma pendidikan
untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan.
Melihat
pernyataan tentang siswa diatas, penulis mengambil kesimpulan bahwa siswa
adalah orang yang membutuhkan bimbingan dari pendidik untuk mengembangkan
seluruh potensi yang dimilikinya melalui proses pembelajaran dalam upaya untuk
menggapai cita-cita yang diharapkan. Agar proses pendidikan mencapai tujuan
yang diinginkan, maka siswa hendaknya menyadari posisi dirinya sebagai peserta
didik dan dapat menempatkan dirinya secara proporsional. Etika merupakan suatu
hal yang harus diperhatikan oleh siswa ketika proses pembelajaran berlangsung.
Pembelajaran
dapat diartikan sebagai suatu proses interaksi edukatif antara anak didik
dengan pendidik. Salah satu indikator interaksi edukatif adalah apabila
interaksi tersebut dilakukan secara terencana, teerkendalii, ada sesuatu atau
bahan yang akan disampaikan dan dapat dieavaluasi dalam suatu sistem.
Konsekuaensi logisnya, ketika interaksi dilakukan tanpa memperhatikan empat
poin diatas, maka ia tidak memenuhi karakteristik edukatif.
Dari
pemaparan diatas terlihat bahwa salah satu permasalahan penting dalam dunia
pendidikan adalah komponen pendidik dan murid. Guru sangat berperan sekali
dalam membimbing muridnya, hendaknya seorang guru tidak segan-segan memberikan
pengarahan kepada muridnya agar mempelajari ilmu secara runtut setahap demi
setahap. Dalam proses belajar mengajar, guru merupakan sebuah komponen yang
mempengaruhi belajar siswa. Guru mempunyai pengaruh yang besar terhadap belajar
dan tingkah laku siswa di dalam kelas. Sebagai manusia, dalam dirinya, seorang
guru mempunyai dua aspek yaitu kompetensi dan kepribadian. Kedua aspek tersebut
berpengaruh terhadap jati dirinya sebagai seorang guru dan pendidik. Sehubungan dengan itu guru
merupakan subyek yang menjadi fokus bahasan ini disamping peserta didik. karena
siapapun sependapat bahwa guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses
pendidikan khususnya di tingkat insitusional dan instruksional. Begitu
pentingnya peranan seorang guru terhadap muridnya, Allah swt. swt. Memberikan
gambaran akan hal tersebut bukan dalam bentuk doktrin (larangan dan perintah
secara langsung), tetapi dalam bentuk kisah yang hidup. Salah satu kisah yang
menggambarkan akan hal tersebut adalah surat al-Kahfi ayat 60 – 70.
Secara
umum, surat al-Kahfi ayat 60-70 merupakan kisah yang menggambarkan interaksi
antara seorang guru dan murid. Nabi Musa as.yang dalam kisah ini berperan
sebagai murid sangat menjunjung tinggi nilai-nilai etika yang semestinya
diamalkan oleh siswa agar proses pendidikan yang dilaksanakan berjalan dengan
baik. Dan Nabi Khidir as. yang berperan sebagai guru menggambarkan bahwa
seorang pendidik hendaknya menuntun anak didiknya dan memberi tahu
kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, bahkan
mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika pendidik mengetahui bahwa
potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajarinya.
Atas
dasar permasalahan diatas, maka surat al-Kahfi ayat 66 – 70 tersebut perlu
digali dan diteliti lebih dalam dengan mengutip beberapa penafsiran untuk dapat
pemahaman tentang peranan pendidik dalam membimbing anak didiknya sehingga
tujuan pendidikan dapat tercapai. Untuk menjawab permasalahan tersebut penulis
tertarik untuk mengadakan pengkajian lebih dalam dengan judul:
NILAI PENDIDIKAN DALAM KISAH NABI MUSA AS DAN NABI KHIDIR AS PADA Q.S
AL-KAHFI AYAT 66-70 TENTANG PERAN PENDIDIK DALAM MEMBIMBING PESERTA DIDIK
B. Perumusan Masalah
1. Apa
esensi Q.S al-Kahfi ayat 66 – 70 secara totalitas yang paling urgen ?
2. Apa nilai pendidikan pada Q.S al-Kahfi ayat
66 – 70 menurut para mufassir ?
3. Bagaimana
sikap seorang murid terhadap gurunya ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang :
1. Mengetahui esensi Q.S al-Kahfi ayat 66 – 70 menurut para mufassir.
2. Mengetahui nilai pendidikan pada Q.S al-Kahfi
ayat 66-70 menurut para mufassir.
3. Mengetahui bagaimana etika siswa menurut Ilmu Pendidikan Islam ?
Kegunaan penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan masukan, wawasan, dan pengetahuan bagi penulis khususnya,
umumnya bagi yang membacanya tentang konsep peran pendidik mengarahkan anak
didiknya yang tersurat dari kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan
dapat berguna dan bermanfaat bagi dunia pendidikan pada umumnya dan bagi para
guru dalam memberikan bimbingan terhadap anak didiknya.
D. Kerangka Pemikiran
Kerangka
pemikiran merupakan uraian berbentuk teori-teori atau pemikiran-pemikiran logis
yang melandasi dan dijadikan titik tolak bagi permasalahan yang dihadapi atau
diteliti. (Sasmita, S.1989: 23).
Adapun yang menjadi dasar dalam penelitian
adalah sebagai berikut :
1.
Al-Quran dan
isinya adalah merupakan sumber rujukan utama bagi seluruh disiplin ilmu ke
Islaman. Al-Quran juga berfungsi sebagai petunjuk (hudan) juga sebagai penjelas bagi petunjuk-petunjuk tersebut (bayyinat minal hudaa) serta menjadi
pembeda atau tolak ukur pemisah antara yang benar dan yang salah (furqon). Al-Quran merupakan kitab pendidikan
dan pengajaran secara umum, dan juga kitab sosial, moral, dan spiritual secara
khusus. Dalam Al-Quran banyak sekali diceritakan tentang kisah-kisah yang dapat
dijadikan pelajaran bagi segenap umat manusia. Kisah-kisah tersebut tidak hanya
tentang orang-orang yang mendapatkan jaminan masuk surga atau ancaman neraka,
akan tetapi didalamnya terdapat kisah-kisah yang mengandung pendidikan. Manfaat dari kisah-kisah dalam Al-Quran
adalah menjadikan ibrah (pelajaran). Sebagaimana firman Allah swt.
swt dalam QS. Yusuf ayat 111:
Artinya:
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu
terdapat pengajaran bagi orang-orang
yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi
membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan
sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (Depag RI, 1978 : 198).
2. Hadits Rasul yang merupakan bayan dari al-Quran yang menguatkan
begitu pentingnya peran pendidik. Bahkan guru agama khususnya harus sanggup
menjadi pendukung sebenar-benarnya cita-cita agama dan suri tauladan di mata
anak didiknya. Itulah sebabnya guru sebagai pendidik harus memenuhi
syarat-syarat yang dapat dipertanggung jawabkan dalam pendidikan baik aspek
jasmani maupun rohani. Rasul bersabda dalam haditsnya:
Artinya:
“Berbicaralah
kamu dengan manusia menurut tingkat kemampuan berfikir mereka”.
Sabda Rasulullah saw tentang ancaman
orang yang tidak mengamalkan ilmunya:
Artinya:
“Barang siapa
yang diajari sesuatu ilmu lalu dia menyembunyikannya, maka Allah mengekangnya
pada hari kiamat dengan kekangan api neraka.”
3. Bahwa pendidikan secara teoritis mengandung
pengertian memberi makan (opvoeding)
kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering
diartikan dengan menumbuhkan kemampuan dasar manusia. Bila ingin diarahkan kepada
pertumbuhan sesuai dengan ajaran Islam, maka harus berproses melalui sistem
kependidikan Islam.
(Arifin,
M. 1994: 32)
4. Undang-Undang RI tentang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Bab XI,
pasal 39 menyebutkan :
“Pendidik merupakan tenaga
profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melakukan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik dan
perguruan tinggi.”
5. Imam al-Ghozali seorang ulama dan ahli
pendidikan mengatakan:
“Hendaklah guru mengamalkan
ilmunya, jangan perkataannya membohongi perbuatannya. Perumpamaan guru yang
membimbing murid adalah bagaikan ukiran dengan tanah liat, atau bayangan dengan
tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat dapat terukir sendiri tanpa ada alat
untuk mengukirnya, bagaimana mungkin bayangan akan lurus kalau tongkatnya
bengkok”.
E. Metode dan Teknik Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Digunakan metode
historis, karena penelitian ini berupaya mengungkapkan data historis tentang
kisah yang ada dalam al-Quran yaitu kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as.
tentang peran seorang pendidik.
Winarno
Surakhmad (1994:132) mengungkapkan tentang pengertian historis, yaitu:
Metode historis adalah sebuah
proses yang meliputi pengumpulan dan penafsiran gejala, peristiwa ataupun
gagasan yang timbul di masa lampau, untuk menemukan generalisasi yang berguna
dalam usaha memenuhi kenyataan-kenyataan sejarah, memahami situasi sekarang dan
meramalkan perkembangan yang akan datang.
2. Teknik Penelitian
Teknik
dapat diartikan sebagai alat kerja yang merupakan kelengkapan cara kerja.
Adapun penelitian ini menggunakan teknik studi literatur atau studi
kepustakaan, yaitu suatu teknik yang di gunakan untuk mengkaji berbagai kitab,
tafsir, hadits, dan buku-buku yang ada kaitannya dengan penelitian ini sehingga
hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.
F. Langkah-langkah Penelitian
Dalam
penelitian ini penulis mencoba menempuh langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Memfokuskan
permasalahan
2.
Merumuskan
tujuan
3.
Menerjemahkan
ayat yang terkandung dalam Q.S al-Kahfi ayat 66 - 70
4.
Menginventarisir
pandangan para mufassir terhadap ayat yang diteliti.
5.
Menganalisa
makna ayat dan keterangan dari para ahli.
6.
Telaah
buku-buku tentang Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as.
7.
Mencari
nilai-nilai kependidikannya.
8.
Mengumpulkan
hasil analisa sehingga terjawab hal-hal yang dipertanyakan.
G. Sumber Kajian
Dalam
penelitian ini, sumber data yang digunakan adalah data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer
dalam penelitian ini adalah Q.S. al-Kahfi ayat 66-70. Sedangkan sumber data
sekunder adalah buku-buku pendidikan lain yang berkaitan dengan pembahasan
dalam penelitian ini. Dan data sekunder lainnya adalah kitab tafsir yang
dipergunakan sebagai berikut:
1.
Tafsir Ibnu Katsir
2.
Tafsir al-Fakhru al-Razi’
3.
Tafsir al-Maraghi
4.
Tafsir al-Munir
5.
Tafsir Shafwatu al-Tafasir
6.
Tafsir al-Qurthubi
7.
Tafsir al-Misbah
8.
Buku-buku yang berhubungan dengan penelitian.
H. Sistimatika pembahasan
Skripsi ini disusun dengan sistimatika yang
meliputi 5 (lima) bab, diawali dengan bab pendahuluan dan diakhiri dengan bab
kesimpulan dan saran-saran atau penutup. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
Bab I : Merupakan bab pendahuluan
yang berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, kerangka pemikiran, metode dan teknik penelitian, langkah-langkah
penelitian, sumber kajian, dan sistimatika pembahasan.
Bab II : Berisi
tafsir Q.S al-Kahfi ayat 66-70 menurut beberapa mufassir yang mencakup teks dan
terjemah ayat, asbab al-Nuzul, penafsiran menurut para mufassir, sekilas
riwayat hidup Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as., rangkuman menurut beberapa
mufassir, dan essensi penafsiran menurut mufasir.
Bab III : Menguraikan
pengertian ilmu, pengertian pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam,
pengertian pendidik, pengertian peserta didik, peran pendidik dalam pendidikan
Islam, serta etika peserta didik dalam Islam..
Bab IV : Analisa terhadap essensi Q.S
al-Kahfi ayat 66-70, dan nilai-nilai yang terkandung dalam Q.S al-Kahfi ayat
66-70 tentang peran pendidik dan etika peserta didik, dan mendidik sepenuh
hati.
Bab V : Merupakan bab penutup yang meliputi:
kesimpulan dan saran
0 Response to "Nilai Pendidikan Surat Al Kahfi ayat 66-70 Bab I"
Posting Komentar